Friday, August 7, 2009

hipokondriasis

Definition :
Gangguan dengan adanya perhatian berlebihan terhadap kesehatan secara umum atau integritas dan fungsi dari beberapa bagian tubuh, disertai dengan ansietas dan depresi; penolakan terhadap nasehat yang membesarkan hati dan pemeriksaan medik yang normal; kuatir akan gejala-gejala penyakit tertentu mungkin bersifat obsesif.

Cause :
Adanya bukti yang kuat adanya predisposi dalam keluarga, yang mempengaruhi perkembangan dini dan pola-pola yang terdiri dan preokupasi somatik Mungkin terjadi dalam rangkaian depresi.

Treatment :
Derpikir terus-menerus tentang kesehatan dan perhatian yang berlebihan mengenai keluhan somatik tertentu yang dikaitkan sebagai gejala-gejala dan berbagai penyakit (penyakit jantung atau kelamin, karsinoma dan obstruksi intestinal) Kegagalan menghilangkan rasa takutnya walaupun dengan khas pemeriksaan normal yang berulang-ulang Berkeras bahwa sejumlah faktor terlewatkan atau masih belum ditemukan Kegemaran berdiet dan olah raga sering dikemukakan.
tanyadokter

hipokondria

Faktor Psikologis
Setiap orang pasti memiliki bagian organ tubuh yang lemah. Ada yang di saat-saat genting tiba-tiba malah sulit berbicara atau tak mampu bangun dari tempat tidur. Di bawah sadar, ini memang cara untuk menghindari situasi yang mengancam.
Sigmund Freud berpendapat bahwa gejala semacam itu adalah penyakit fisik yang bersumber pada konflik psikologis. Penanganannya tentu tidak secara fisik, tapi dengan terapi psikologis.
Dalam setiap zaman sepertinya orang selalu menemukan jawaban yang kedengarannya cukup ilmiah untuk menerangkan ketidakbahagiaan. Misalnya, zaman sekarang dikenal chronic fatigue syndrome (CFS), untuk menerangkan mengapa orang tidak dapat menggerakkan tubuhnya.
Berney Goodman M.D. dalam bukunya When the Body Speaks Its Mind, percaya bahwa seseorang yang terlalu memusatkan perhatian pada masalah fisiknya, sebenarnya sedang melancarkan taktik untuk menghindari kenyataan. “Hipokondria adalah jalan keluar agar si penderita tak usah menghadapi beban emosional, entah kesedihan, sakit hati, dan sebagainya,” tulisnya. “Alam pikiran akan melakukan pengorbanan kecil untuk menghindari pengorbanan yang lebih besar. Inilah yang dinamakan faktor ekonomi kejiwaan. Penderita lebih suka hidup bersama penyakitnya dan akan terus mengeluh dan terus khawatir. Ibaratnya, ia lebih suka mati pelan-pelan karena bakteri ganas daripada menghadapi perceraian.”
Marc D. Feldman M.D., psikiater lain dan penulis buku Patient or Pretender: Inside the Strange World of Factitious Disorders menambahkan, hipokondria itu suatu cara untuk menarik simpati serta menghindari malu. “Soalnya, masyarakat umumnya lebih bisa menerima keluhan gangguan fisik daripada mental,” kata Goodman. “Kalau Anda menelepon atasan dan mengatakan ‘Maaf, saya sedang dilanda gangguan jiwa’, pasti Anda akan ditertawakan. Namun kalau minta izin dengan alasan sakit apalagi ditambah bumbu-bumbu yang dilebih-lebihkan, pasti akan lebih mudah mendapat cuti,” jelasnya.
Menurut Susan Baur, Ph.D., penulis buku Hypochondria: Woeful Imaginings, ada dua tipe penderita. Seorang penderita yang fobia akan memilih satu jenis penyakit yang serius dan seram. Ketakutan dan kecemasannya hanya terbatas pada penyakit itu. Tipe kedua adalah penderita yang tidak membatasi kekhawatirannya pada satu jenis penyakit saja. Dengan perisai keadaan kesehatan yang kurang baik (semisal alergi atau pencernaan lemah), ia mencoba menurunkan harapan orang lain daripadanya. Ia bisa mengatakan, “Saat ini saya sedang tak enak badan, jadi maaf saja, kerja saya sedikit kurang beres.”
Menurut statistik, hipokondria lebih banyak menyerang wanita daripada pria. Namun jumlah tepatnya sulit didata, karena umumnya lebih banyak wanita yang ke dokter daripada pria. “Soalnya, kebanyakan pria beranggapan, pergi ke dokter sama dengan menunjukkan kelemahan,” kara Dr. Goodman. “Kalau rasa penat atau bosan saja (menunjukkan gejala awal depresi) sering kali sudah membuat seorang wanita ke dokter, pria baru mau ke dokter, bila sudah mengalami gejala depresi yang lain, misalnya impotensi. Itu pun hanya dokter biasa. Ke psikiater merupakan pilihan terakhir bagi pria.”
Hipokondria biasanya muncul pertama kali pada usia 20 – 30-an. Di AS sejak tahun 1950-an, sekitar 6 – 10% pasien yang berkonsultasi ke dokter dikatakan tidak ketahuan penyakitnya. Namun, karena seringnya, kunjungan mereka ini mencakup 60% dari semua kunjungan berobat ke dokter.

Bagaimana Terapinya ?
Para dokter memang menemukan kesulitan mendiagnosis hipokondria karena gejala yang rata-rata tidak jelas atau meragukan: keluhan sakit punggung, sakit dada, pusing, lelah, sembelit. Para dokter pun acap kali enggam mengambil risiko salah. Bila dokter mendiagnosis hipokondria padahal ternyata pasien benar-benar sakit, bukankah ia bisa dituntut (khususnya di AS)? Alhasil, pasien mendapatkan terapi seperti orang sakit fisik. Sedangkan terapi psikologis yang mungkin lebih diperlukan, malah diabaikan.
Cara menyembuhkan penderita hipokondria sebenarnya tergantung pada berat tidaknya gangguan itu dan apakah berhubungan dengan perilaku obsesif kompulsif atau depresi. Pertama-tama bisa dicoba dengan tehnik modifikasi perilaku yang dipusatkan pada fobia yang dideritanya. Pasien mula-mula diminta mempelajari serta melakukan penilaian yang tepat terhadap gejala yang dialami. Jangan langsung melompat pada kesimpulan yang mengerikan. Kalau yang dialami sakit kepala nyut-nyutan, katakan demikian, titik. Jangan ditambahi kesimpulan, “Mungkin ada tumor di kepala saya.” Selanjutnya, diberikan obat yang tepat untuk menekan depresi atau perilaku obsesifnya. Obat yang diberikan bisa golongan serotonin seperti Prozac, misalnya. Tapi tentu ini atas anjuran dan resep dokter.
Manajemen stres yang baik tentu amat berguna untuk menghindari kambuhnya serangan-serangan kekhawatiran. Bila karena bertengkar dengan pasangan, datang sakit kepala; pekerjaan terlampau berat, sakit punggung kumat; terlalu ambisius dalam bekerja, eksem menyerang; bukankah pada dasarnya kita tak berbeda dengan penderita hipokondria?
Sumber lain mengatakan, kalau gejala memburuk dalam waktu enam bulan, sebaiknya minta bantuan psikiater. Menurut penelitian Universitas Oxford, 80% penderita berhasil disembuhkan dengan terapi psikologi kognitif (yang memberikan pengertian atau kesadaran). Cara ini menurut seorang ahli akan kecemasan dan jauh lebih baik daripada hanya memberikan obat-obatan.
Mengobati kelainan hipokondria memang tergantung pada kemauan diri sendiri. Hanya mengandalkan dokter atau ahli terapi tidak cukup. “Lakukan proses perenungan. Kadang kala yang diperlukan hanya sedikit menenangkan diri. Dorongan dari pasangan atau dokter yang kita percayai dapat membantu. Mungkin nasihat atau hiburan mereka dapat menunjang kepulihan dan menyembuhkan kecemasan Anda,” tambah Feldman.
Dengan demikian, mendengar berita apa pun, kita tidak gampang cemas.
kompas.com